19 May 2007

malam semakin larut


malam yang kian larut, merenggut waktu bermain sang dewi malam, rembulan separuh. lalu rintik hujan pun mulai membasahi kedua matamu yang lekat menatap pinggiran langit tanpa renda_renda. awan berwarna biru keunguan bergumam sesuatu pada telingamu, kau semakin terselimuti kesunyian. dan kau membiarkan malam semakin larut.

malam ini adalah malamku juga. walau tanpa karpet merah atau sebotol sampagne. karena bangku tua ini memaksaku menghabiskan sisa cerutu dan setengah cangkir kopi pahit. aku terlambat untuk mengucapkan selamat jalan pada sang dewi malam yang telah menghilang. hanya sisa bayangan kosongnya yang menghitam di sudut pandangku. aku mabuk, liar membaca gerakan angin dingin, dan terpapah di atas batu_batu muda yang telah menjadi kerikil. sesekali kudengar jangkrik dan burung hantu menertawakan langkah sempoyonganku. dan aku membiarkan malam semakin larut.

malam ini juga malam kita. saat untaian kata tak lagi setegas sajak khairil anwar atau petuah lama william shakespeare. kita seperti sedang berorasi lantang dalam bahasa rendra. tak bisa mengalir indah selayaknya acep zamzam noor melukiskan kota roma dalam bait_bait kesunyian. kita telah terjebak dalam kebekuan yang semakin menguapkan udara. juga pada bibir yang tak lagi berpagutan, serupa kuburan senyap dengan ciuman sang drakula. lalu kita pun bergegas menyelesaikan putaran roda mimpi, agar matahari tak membuat kita malu. secara tak sadar, kita menjadi pecundang kecil, mengerdilkan arti harapan, cita, dan rasa. mungkin malam ini, memang malam yang belum sempurna untuk kita tanam di taman jingga. ranting_ranting kesadaran mulai melemahkan daun hijau yang kita lukis saat jendela kamar ini masih memiliki pintu kayu. kita bersama arca_arca bisu, kini berlumuran luka, tertinggal peradaban beribu_ribu abad. dan akhirnya kita harus membiarkan malam semakin larut.


semarang, suatu malam

3 Comments:

Anonymous Anonymous said...

ada lebih dari seribu malam yg datang dan pergi begitu saja tanpa sempat memaknainya. sia-sia.

begitukah hidup; penuh pejalan yg limbung, penari nasib yg wagu, peselancar pagi dan malam yg yg selalu merugi dengan waktu.

begitulah hakikat; cukuplah satu malam yang berarti dari ribuan yg hilang untuk menemukan makna, kenapa kita masih hidup sampai hari ini.

5:37 am  
Blogger hoe said...

wahh.. ternyata bung satu ini puitis banget... salute bung, makasih ya.. :)

:
mungkin karena malam yang selalu menyimpan kegelapan, dan menebarkan benih_benih kesunyian

7:16 am  
Blogger angin-berbisik said...

wah tulisannya bagus banget rek...

mas hoe, saya mau nyapa di SB nya kok ga bisa2 ya....whats happen?

7:56 am  

Post a Comment

<< Home