sebuah intro

mengenangmu saat ini adalah seperti semedi sunyi bersama dinding kamar berwarna kuning di rumah kontrakan yang selalu kosong tanpa lemari es atau mesin cuci. kota ini membunuh setiap kata yang hendak ku pintal menjadi segulung selimut untuk menyambut musim dingin yang sepertinya datang tak tepat waktu, terlalu cepat. raut wajahmu kubingkai dengan figura kayu kecoklatan dan kaca transfaran, agar tiap inchi kulitmu menjadi cahaya remang di sunyinya pagi. sementara lagu_lagu menyesatkan pikiranku, pada ruang jauh dan jalanan berkelok di pematang basah yang selalu menyimpan helai sayapmu. sandal jepit lusuh berserakan tak lagi berpasangan, juga ceceran sperma dan serpihan kaca nako menjadi pergulatan tersendiri di pagi dan menjelang siang. botol_botol vodka berjajar rapi seperti serdadu muda di garis terdepan, dan matamu setajam bayonet, menusuk kepalaku yang memang sengaja tanpa pelindung.

mengenangmu saat ini adalah seperti memasuki sebuah terowongan yang lama tak tersentuh langkah kaki. mungkin karena tertutup teralis atau jaring laba_laba yang merenta bersama kimono biru yang kau tambahkan bordiran bunga sakura di punggungnya. kau hadir saat musim semi tak lagi abadi, menjadi badai salju pertanda musim dingin sudah mengetuk pintu kamar, dan menegur perapian yang tak lagi hangat bersama gelas_gelas tipis yang biasa kau kecup sebelum rembulan membuka cadarnya.

aku menjadi butiran kristal kecil yang tersangkut di atap genteng. bersama matahari yang khusyuk, kemabukanku teramat dahsyat untuk menjadi bait_bait singkat. diatas daun teratai kau memulai alinea terakhir dengan ayat_ayat liar. aku membuka mata menatapmu yang dari tadi menggenggam erat pena hitam, mungkin sebuah perjanjian sudah kita tulis tanpa disadari. bahkan malam pun tak sempat menjadi saksi.

kann 2007